Minggu, 08 April 2012

Penggunaan Spirulina ada SEJARAHnya lho !


Wah ternyata spirulina yang kaya akan gizi ini ada sejarahnya juga lho. simak ceritanya..

Sekitar 500 tahun yang lalu penduduk sekitar Danau Texcoco, Meksiko, telah menggunakan spirulina sebagai bahan makanan, spirulina diperoleh dari kedalaman danau. Sejak saat itu spirulina diolah menjadi lempengan-lempengan seperti biskuit yang mereka sebut dengan 'Tecuitlatl'. biskuit tersebut dimakan sebagai camilan setiap harinya. Karena rajin memakan biskuit itu penduduk Danau Texcoco jarang sakit.

Jauh di Danau Chad, Afrika, penduduk Kanembu pun juga jarang sakit. Setelah diselidiki mereka  sering mengkonsumsi dihe. Penganan mirip kue kering itu dibuat dari spirulina. Penduduk mengumpulkannya dengan kelambu pada musim panas saat terjadi booming spirulina di danau. Suku Aztec malah sudah sejak lama memanfaatkan spirulina untuk memperbaiki gizi mereka, kata Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS, guru besar Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor.  Menurutnya, spirulina bisa memperbaiki gizi karena ia mengandung 70% protein. Asam-asam amino yang terkandung di dalamnya berperan memperbaiki sel-sel rusak dan meningkatkan sistem imun tubuh. Karena itu sejak lama spirulina sudah dimanfaatkan manusia, ujarnya.

Dihe tersebut merupakan pangan utama bagi 70% penduduk Kanembu. Bahkan mitos yang sangat kuat dan turun-temurun tentang dihe mempercayai bahwa ibu hamil yang memakan dihe, akan melahirkan bayi yang sehat, selamat, dan terhindar dari tukang sihir atau roh jahat yang berkeliaran. Demikian juga penduduk distrik Karla, India telah meng-gunakan dihe sebagai sumber pangan alami nonkonvensional yang bergizi tinggi, berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, dan menambah vitalitas serta kebugaran tubuh. Karena itu, dihe selalu mereka gunakan dalam adonan cepat (makanan khas India), roti, dan sup. Bahkan, penduduk Karla telah berhasil membudi-dayakan ganggang berpilin spirulina di sekitar pekarangan mereka untuk dimanfaatkan sendiri. Keterampilan ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setelah dihe diamati secara cermat oleh para pakar fikologi, ternyata ia adalah kumpulan trikhoma dari mikroalga Spirulina platensis.

Pada awal tahun 1940-an beberapa studi ilmiah mulai mempublikasikan pangan alami dari teciutlalt. Selanjutnya, sekitar tahun 1963-an, Dangeard seorang peneliti dari French Oil Institute, tertarik pada laporan tentang dihe yang dimakan oleh penduduk distrik Kanembu sekitar danau Chad, Afrika. Setelah diteliti ternyata dihe tersebut adalah cake keras yang dibuat dari ganggang biru spirulina dan telah dikeringkan di bawah sinar matahari. Dihe tersebut dikoleksi dari tepian kolam-kolam kecil di sekitar danau Chad. Dilaporkan juga bahwa jutaan burung flamingo di sekitar lembah Rift, Afrika Timur terbang ke danau Bodou dan danau Rombu, di Chad untuk memakan seluruh ganggang berpilin spirulina saat .jumlahnya melimpah.
Dua puluh lima tahun kemudian, ekspedisi Belgia, Tran Sahara menemukan, ganggang biru melimpah di atas permukaan danau Chad pada musim tertentu. Akhirnya seorang ahli botani Leonard telah menemukan bahwa cake kering ganggang biru yang dijual di pasar tradisional Fort Lamy—sekarang Ndjemena, Chad—adalah spirulina. Tiupan angin gurun telah mendorong lempengan biomasa ganggang spirulina tersebut menuju dan berkumpul ke tepian danau. Oleh penduduk di sekitar danau tersebut lempengan biomasa ini dikumpulkan dengan kain kelambu yang dibuat menyerupai kerucut untuk seterusnya dimasukkan ke dalam tempayan tanah liat. Biomasa mikroalga yang telah terkumpul dikeringkan di bawah terik matahari di atas pasir beralaskan nampan. Setelah kering, lempengan biomasa tersebut dipotong-potong menjadi sebesar biskuit, selanjutnya dijual ke pasar setempat di sekitar Chad.

Sejak berabad-abad silam hubungan antara manusia dan ganggang mikro telah dicatat pada beberapa kejadian. Spirulina berupa lempengan terhampar di permukaan air yang dapat digunakan untuk mengatasi kelaparan. Hamparan spirulina tersebut dikumpulkan lalu dicampur atau ditaburkan pada roti kemudian dipanggang. Mereka percaya, spirulina adalah sejenis lumut kerak hasil simbiosis antara jamur dan ganggang biru yang membentuk lapisan di atas permukaan batu karang atau tempat lainnya. Spirulina tersebut digunakan sebagai sumber vitamin dan mineral. pada waktu itu spirulina dikenal dengan sebutan manna.
Cerita lainnya yang cukup menarik adalah penggunaan ganggang biru selama ribuan tahun yang lalu oleh penduduk Vietnam. Spirulina tidak hanya bermanfaat untuk kesehatan manusia tetapi juga untuk tumbuhan. Pada waktu itu, seorang biksu bernama Khong Ming Khong menemukan padi yang ditanami dengan paku air azolla akan memberikan hasil panen yang jauh lebih baik.  Setelah 700 tahun berlalu, seorang wanita Vietnam bernama Ba Heng menemukan kembali azolla yang sangat bermanfaat meningkatkan produksi padi tersebut, yang dapat menyelamatkan penduduk vietnam dari kelaparan. Akhirnya satu abad kemudian para ahli fikologi menemukan, di dalam air azolla ternyata hidup berasosiasi ganggang hijau-biru (Cyanophyceae) yang dapat mengikat nitrogen (N2) dari udara (nitrofixing) sehingga sangat bermanfaat untuk pupuk hayati tanaman padi.

Beabad-abad tahun silam, para petani di Filipina, india dan wilayah Afrika telah menggunakan campuran ganggang hijau Ababaena azollae dengan paku air Azolla pinnata di lahan persawahan yang tidak diberi pupuk TSP atau urea. Hasilnya sangat menakjubkan, panen padi meningkat drastis. Akhirnya para peneliti dari Cyanotech, USA mulai mengembangkan ganggang biru penambat nitrogen seperti Tolypothrix sp., Calothrix sp., Anabaena sp., dan Nostoc sp. Di lahan persawahan, perkebunan tebu, dan gandum. Hasilnya menunjukkan, 15% penggunaan pupuk anorganik dapat ditekan dan kandungan nitrogen bertamhah 20-30 kg/musim/ha lahan dengan peningkatan hasil panen 10-15 kali. Selain mampu merangsang percepatan pertumbuhan tanaman dan mencegah mikroorganisme patogen. Campuran tersebut juga mampu memperbaiki tekstur dan struktur tanah persawahan sehingga tahan banjir. Data tahun 1985-an menunjukkan, negara berkembang telah mengimpor pupuk kimia anorganik sebesar 85 juta ton yang 30%-nya adalah pupuk urea. Untuk mengatasi ketergantungan para petani terhadap pupuk kimia tersebut maka para ahli fikologi India, China, Myanmar, dan Vietnam mencoba mencari alteratif lain, yaitu pupuk ganggang biru penambat nitrogen. Akhirnya India berhasil melakukan proses pemilihan biak unggul ganggang biru penambat nitrogen dan merangsang percepatan tumbuh dengan penambahan hara Mo (Moloibdat), P (Fosfor), K (Kalium), dan Ca (Kalsium) sehingga diperoleh galur (variasi jenis) yang siap diaplikasikan di lapangan. Galur diarahkan agar resisten (tahan) terhadap pestisida yang nantinya dapat digunakan sebagai pakan ternak. Teknologi yang dikembangkan ini dapat meningkatkan kandungan nitrogen di persawahan hingga 60-60 kg/ha/panen.

Akhirnya, tidak kurang dari sembilan jenis ganggang yang hidup di air tawar telah digunakan secara turun temurun sebagai pangan alami di lebih dari 15 negara di dunia sebagai pangan nonkonvensional bergizi tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan di sharing,,,